Bukhari, Bayi Ajaib Dari Bukhara

Buta di masa kecilnya. Keliling dunia mencari ilmu. Menghafal ratusan ribu hadits. Karyanya menjadi rujukan utama setelah Al Qur’an.

Lahir di Bukhara pada bulan Syawal tahun 194 H. Dipanggil dengan Abu Abdillah. Nama lengkap beliau Muhammmad bin Ismail bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi. Beliau digelari Al Imam Al Hafizh, dan lebih dikenal dengan sebutan Al Imam Al Bukhari.

Buyut beliau, Al Mughirah, semula beragama Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantaraan gubernur Bukhara yang bernama Al Yaman Al Ju’fi. Sedang ayah beliau, Ismail bin Al Mughirah, seorang tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran Al Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuan, pernah berjumpa dengan Hammad bin Zaid, dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al Mubarak.

Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau bermimpi melihat Nabi Ibrahim Al Khalil ‘Alaihissalaam yang mengatakan, “Hai Fulanah (yang beliau maksud adalah ibu Al Imam Al Bukhari, pent), sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa”. Ternyata pada pagi harinya sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.

Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Mesir, dan Syam. Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu ‘Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al Mughirah, ‘Abdan bin ‘Utsman, ‘Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin Hammad Asy-Syu’aisi, Muhammad bin ‘Ar’arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, ‘Abdullah bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri’, Khallad bin Yahya, Abdul ‘Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, ‘Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih, Nu’aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.

Murid-murid beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun kitab Shahih Muslim.

Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu hadits shahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadits yang tidak shahih”. Pada kesempatan yang lain belau berkata, “Setiap hadits yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-perawi)-nya”.

Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al Warraaq, “Apakah engkau hafal sanad dan matan setiap hadits yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun (maksudnya : kitab Shahih Bukhari -red)?” Beliau menjawab, ”Semua hadits yang saya masukkan ke dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.

Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadits telah mencapai puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang sezaman dengannya memberikan pujian (rekomendasi) kepada beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi) termaksud:

Muhammad bin Abi Hatim berkata, “ Saya mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat ‘Amr bin ‘Ali Al Fallaas pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadits. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak mengetahui status (kedudukan) hadits tersebut”. Mereka jadi gembira dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju ‘Amr. Lalu mereka menceriterakan peristiwa itu kepada ‘Amr. ‘Amr berkata kepada mereka, “Hadits yang status (kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadits”.

Al Imam Al Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadits yaitu kitab beliau yang diberi judul Al Jami’ atau disebut juga Ash-Shahih atau Shahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa kitab Shahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab suci Al Quran.

Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.

Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya berharap bahwa ketika saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa ghibah (menggunjing orang lain)”.

Abdullah bin Sa’id bin Ja’far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan, “Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma’rifah (keilmuan) dan keshalihan”.

Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”

Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam di dalam tidur saya”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”

Al Imam Al Bukhari wafat pada malam Idul Fithri tahun 256 H. ketika beliau mencapai usia enam puluh dua tahun. Jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Al Imam Al Bukhari.

Oleh: Abu Afifah Al Atsary

Maraji’:
Siyar A’laam An-Nubala’ karya Al Imam Adz-Dzahabi
Hadyu As Saari Muqaddimah kitab Fathul Bari karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani
Sumber: Majalah As Salam no VI/Tahun II – 2006 M/ 1427 H
Judul asli: “Bayi Ajaib Dari Bukhara”

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Agar Hubungan Suami Istri Tetap Hangat, Begini Kiatnya

Agar Hubungan Suami Istri Tetap Hangat, Begini Kiatnya  Meski bukan segala-galanya, hubungan intim merupakan sesuatu yang penting dalam rumah tangga. Karena itu, Anda dan suami harus menjaganya agar senantiasa harmonis. Caranya? Menurut dokter Ryan Thamrin, konsultan seks dan kesehatan, hubungan seksual harus dilakukan atas kemauan dari dua pihak, yakni suami dan istri.

Aktivitas ini juga harus dilakukan secara tepat, nikmat dan sehat. Maksudnya, pilih waktu yang tepat saat melakukan hubungan. Perhatikan pula suasana dan mood pasangan dalam membangun keintiman. Pasangan harus mengutamakan kenikmatan bersama. ''Masing-masing perlu mengevaluasi diri agar mengetahui apa yang diinginkan si dia saat berhubungan intim.'' Tak kalah pentingnya adalah menjaga kesehatan orgam intim. Bagi wanita, terdapat tanaman herbal yang diyakini sangat baik untuk merawat organ intim. Tanaman itu adalah manjakani.

 

Seperti pernah dikatakan pakar pengobatan tradisional, mendiang Prof Hembing Wijayakusuma, tumbuhan ini sudah digunakan secara turun-temurun oleh orang Arab, India, Cina, dan Melayu. Manjakani punya banyak manfaat.

Selain dapat mencegah keputihan, tanaman herbal ini juga berkhasiat mengencangkan dinding vagina. Manjakani, kata Hembing, juga bisa dimanfaatkan sebagai antiseptik karena mampu membunuh bakteri dan jamur penyebab infeksi vagina serta keputihan yang menyebabkan gatal dan aroma tak sedap di daerah intim. Tumbuhan yang banyak terdapat di Indonesia ini juga mampu mengembalikan elastisitas otot vagina pasca melahirkan. 

Tumbuhan ini, menurut Hembing, luar biasa karena mengandung zat tannin, vitamin A dan C, kalsium, dan asam gallic. Banyak sekali khasiatnya untuk memelihara kesehatan organ intim wanita.
sumber :http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Mau Punya Tumit Mulus? Begini Caranya

Mau Punya Tumit Mulus? Begini Caranya Tumit kaki memiliki fungsi yang sangat penting. Setiap hari tumit bekerja menumpu berat badan. Gerakan yang terus-menerus dengan alas kaki juga menjadi penyebab kulit di bagian bawah kaki bermasalah.

Tumit yang kulitnya menebal atau pecahpecah pun bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Kosmetologis Ristra, dr Astrid Indriyani, memberikan tips untuk merawat kulit kaki yang telanjur pecah-pecah.

Rendam kaki dalam air hangat kuku yang telah diberikan beberapa tetes minyak zaitun atau minyak esensial lainnya selama 15-20 menit. “Minyak memberikan efek rileks dan membantu mengangkat kotoran. Juga dapat menjadikan kaki terasa lembut,” papar dia.

Selanjutnya, gosok tumit dan bilas hingga kering. Upaya menggosok tumit berguna mengangkat sel-sel kulit mati hingga permukaan kulit terasa lebih halus. Namun, Astrid melarang penggunaan batu apung ketika menggosok karena dapat menyebabkan lecet atau luka.

Setelah itu, gunakan krim pelembab pada tumit dan lakukan pijatan ringan. Terakhir, gunakan kaus kaki berbahan tebal agar pelembap dapat terserap sempurna.

Selain itu, Astrid menyarankan agar mengurangi ketegangan kaki dengan berbaring sambil mengangkat kaki lebih tinggi dari kepala. Menggunakan alas kaki yang nyaman juga penting agar tumit terjaga sehat. Jika harus menggunakan sepatu bertumit tinggi, gunakan bantalan tumit untuk mengurangi beban.
sumber :http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/
Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Awalnya Sakit Gigi, Akhirnya Disfungsi Ereksi, Kok Bisa?

Awalnya Sakit Gigi, Akhirnya Disfungsi Ereksi, Kok Bisa?
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan seseorang untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang cukup untuk dapat melakukan hubungan seksual secara sempurna. Mekanisme terjadinya disfungsi ereksi disebabkan oleh faktor psikoneuoroendokrin dan faktor vaskuler. Faktor umur, genetik, dan beberapa faktor risiko seperti hipertensi juga ikut berpengaruh.

Rangsang seksual berupa ereksi diawali oleh rangsangan seksual yang terjadi di daerah intragenital maupun ekstragenital. Ereksi yang terjadi tergantung dari rangsangan seksual yang bersumber dari rangsangan psikis maupun fisik, seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, atau perabaan. Ereksi terjadi melalui dua mekanisme yang bekerja secara sinergis, yaitu ereksi refleksogenik dan ereksi psikogenik. Ereksi refleksogenik ditimbulkan oleh rangsangan pada daerah penis, sedangkan ereksi psikogenik ditimbulkan oleh rangsangan psikis.

Disfungsi ereksi pada kasus nyeri gigi, menurut kedua peneliti ini, diduga terjadi akibat penghambatan atau penekanan pada syaraf parasimpatis sehingga tidak mampu melepaskan neurotransmitter pada otot polos korpus kavernosum yang selanjutnya menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer.

Selain itu, otak di daerah thalamus dan hypothalamus sudah penuh dengan sensasi nyeri sehingga daerah tersebut tidak mampu mempersepsi sensasi seksual yang diterima, baik melalui rangsang rabaan, visual, imaginasi. Akibatnya, sensasi tersebut tidak dapat diteruskan ke serabut syaraf desenden menuju pusat ereksi di daerah segmen torakolumbal.

Menurut drg Hasanuddin Thahir SpPerio dari Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, dari hasil penelitian ditemukan, nyeri gigi akibat pulpitis akut, periodontitis akut dan hiperemia pulpa memengaruhi rangsang seksual sehingga frekuensi hubungan seksual menjadi berkurang secara nyata. Bahkan pada kasus pulpitis akut dan periodontitis akut, hubungan seksual pada minggu pertama dan kedua berkurang antara 90 -97 persen.

Sementara itu, pada penderita periodontal abses, meskipun dapat melakukan hubungan seksual tetapi aktivitas bercumbu dalam hubungan seksual menurun secara nyata. ''Ini berarti, kualitas hidup seseorang dapat terpengaruh akibat nyeri gigi.''
Jadi, jangan remehkan sakit gigi.
sumber :http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/
Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Enam Cangkir Kopi Bisa Kurangi Risiko Kanker Usus?

Enam Cangkir Kopi Bisa Kurangi Risiko Kanker Usus?
Minum beberapa cangkir kopi dalam sehari ternyata bisa mengurangi risiko terkena kanker usus.

Dalam sebuah penelitian, peserta uji coba yang menenggak 4 gelas kopi sehari ternyata punya 15 persen risiko lebih kecil kena tumor usus.

Mereka yang minum enam gelas atau lebih, maka risiko terserang kanker usus berkurang hingga 40 persen. Pengurangan risiko kanker usus ini tidak terdapat pada para penggemar teh.

Diketahui lebih dari 40 ribu orang/tahun di Inggris terkena kanker usus. Sekitar 16.000 orang/tahun meninggal karena menderita penyakit ini. Kebanyakan penderita mengabaikan gejala dini dan hanya mencari pengobatan sekali begitu penyakit mereka bertambah parah.

Makan makanan banyak lemak dan daging merah disertai kurang olahraga diduga menjadi beberapa faktor penyebab penyakit ini.

Beberapa penelitian sebelumnya memang pernah menyebutkan kalau kopi bisa melindungi tubuh meskipun penelitian tersebut tidak diyakini kebenarannya.

Dalam penelitian terakhir, peneliti dari Institute Kanker di Rockbille Maryland mengambil sampel 490.000 orang yang ikut diet sehat.

Beberapa dari mereka merupakan penggemar kopi dan tidak suka kopi. Hasilnya, seperti dikutip dalam  "American Journal of Clinical Nutrition", beberapa tumor sedikit mengecil pada orang yang minum 4 gelas kopi sehari. Tumor makin mengecil  pada orang yang minum kopi 6 gelas sehari untuk beberapa jenis kanker.

Direktur Eksekutif Asosiasi Kopi Inggris Dr Euan Paul mengatakan "Penelitian ini jelas membangkitkan semangat kalau kopi juga bisa mengurangi risiko kanker usus karena 40.000 orang terkena kanker ini di Inggris, membuat kanker usus menjadi penyakit ketiga terbesar disana."

Namun ia menekankan untuk wanita hamil agar mengikuti saran Badan Kesehatan untuk mengkonsumsi maksimal 200 kg kafein dalam sehari karena dapat meningkatkan risiko keguguran pada dosis tinggi.

Kafein dalam kopi juga bisa meningkatkan kecemasan pada beberapa orang dan dapat menganggu pola tidur Anda sehingga tidak bisa sepenuhnya beristirahat.
sumber :http://www.republika.co.id/
Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Sisi Buruk Harta

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:
‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak.”
Beliau ditanya: “Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?”


Beliau menjawab: “Tidak ditunaikan haknya.”
Mereka menukas: “Jika haknya sudah ditunaikan?”
Beliau menjawab: “Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya.”
Mereka menimpali: “Jika selamat dari bangga dan sombong?”
Beliau menjawab: “Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)

Beliau rahimahullahu berkata: “Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.”
Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan kelebihan dunia?”
Beliau menjawab: “Yakni engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang; dan engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki.”
(Mawa’izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)

Penulis: Al-Ustadz Zainul Arifin

Sumber : http://www.majalahsyariah.com/print.php?id_online=460

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

10 Prinsip Agar Tidak Tersesat Dalam Belajar Agama

Mendapat pertolongan (taufiq) Allah merupakan momentum yang sangat indah, apalagi kemudian mendapat petunjuk-Nya (hidayah). Biasanya seseorang yang baru bertobat atau dikeluarkan dari kubangan lumpur dosa, maka ia begitu jatuh cinta pada agama ini. Hatinya selalu terpaut pada Allah dan nabi-Nya. Dorongan kuat muncul dari dalam dirinya untuk selalu memperbanyak berbagai macam ibadah yang selama ini telah ia abaikan.  Dorongan berikutnya adalah rasa ingin tahu lebih banyak tentang agama ini.  Iapun kemudian berusaha mengenal dengan baik Allah dan nabi-Nya, dengan cara belajar agama, membaca buku agama, mengikuti berbagai majelis pengajian / taqlim, dan berusaha mencari guru/ustadz untuk memperdalam ilmunya. 

Ketertarikan (antusiasme) menuntut ilmu Islam ini merupakan momentum yang sangat penting diperhatikan dengan baik dan hati-hati, karena hawa nafsu (kecerobohan, keangkuhan, dll) serta godaan syaitan dapat membiaskan niat baik kita ke arah yang menyimpang.

Di akhir zaman ini telah semakin sulit, khususnya bagi ’pencari hidayah’ untuk membedakan antara jalan Islam yang lurus dan jalan yang sesat/menyimpang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam telah berpesan melalui sabda beliau bahwa :  “…umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat”.

Adalah sangat merugi bila waktu dan pikiran yang kita gunakan untuk belajar agama ternyata kita gunakan untuk belajar ilmu yang salah/menyimpang padahal kita tidak menyadarinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Katakanlah : Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya? Yaitu orang yang sia-sia (sesat) usahanya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira bahwa mereka sedang berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi : 103-104 )

Berikut ini kami sampaikan tulisan Asy Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri tentang ‘10 Prinsip Dalam Menuntut Ilmu’ agar para penuntut ilmu terjaga dalam arah yang benar dalam menuntut ilmu.

Tulisan ini merupakan penjelasan ringkas tentang prinsip-prinsip penting yang diperlukan oleh seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i). Saya (Asy Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri, red) wasiatkan dan saya ingatkan diriku dan saudara-saudaraku sekalian dengannya, karena sesungguhnya seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi dan ingin menuai hasilnya maka harus ada 10 prinsip :

 

Pertama: Meminta Tolong Kepada Allah

Manusia itu lemah. Tidak ada daya dan kekuatan baginya kecuali dari Allah. Apabila dia diserahkan pada dirinya sendiri, maka sungguh dia akan hancur dan binasa. Namun kalau dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala dan meminta tolong kepada-Nya dalam menuntut ilmu, maka Allah pasti akan menolongnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan dorongan untuk berbuat demikian dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman :

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan”. [Al-Fatihah]

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia yang akan menjadi sebagai pencukupnya.” [Ath-Thalaq: 3]

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :

“dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian memang kaum mukminin.”

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Kalau seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rizki pada burung, yakni burung tersebut berangkat pagi dalam keadaan lapar, pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” *1

Sebesar-besar rizki adalah: ilmu.

Nabi kita Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa bertawakkal dan meminta pertolongan kepada Rabbnya dalam segala urusan beliau. Dalam doa keluar rumah yang sah dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Beliau berdo’a :

“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.” *2

 

Kedua: Niat yang baik

Seseorang niatnya harus karena Allah ‘Azza wa Jalla dalam menuntut ilmu. Bukan menginginkan didengar (orang lain) atau pun ingin terkenal, tidak pula karena kepentingan-kepentingan duniawi. Barangsiapa yang menjadikan niatkan hanya karena Allah, maka Allah akan memberikan taufiq padanya serta memberikan pahala atas amalannya tersebut. karena (menuntut) ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang terbesar.

Suatu amalan, seorang hamba tidak akan diberi pahala atas amalan tersebut, kecuali apabila dia mengikhlashkan karena Allah, dan mengikuti Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” [An-Nahl: 128]

Ketaqwaan yang terbesar adalah mengikhlashkan niat karena Allah. Adapun orang yang riya’ dalam menuntut ilmu, disamping dia rugi di dunia, dia juga akan diadzab di Hari Akhir. Sebagaimana dalam hadits yang menjelaskan tentang 3 orang yang diseret di atas wajah-wajah mereka. Salah satu dari tiga orang tersebut adalah seorang penuntut ilmu, yang mencari ilmu agar dirinya dikatakan sebagai orang ‘alim (berilmu), dan dia telah dikatakan demikian. *3

 

Ketiga: Merendah Kepada Allah dan Memohon Kepada-Nya Taufiq dan Ketepatan

Serta meminta kepada Rabbnya tambahan dalam menuntut ilmu. Seorang hamba itu faqir, sangat butuh kepada Allah. Dan Allah Ta’ala telah memberikan motivasi hamba-hamba-Nya untuk meminta dan merendah kepada-Nya. Allah berfirman :

 ”Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan untuk kalian.” [Ghafir: 60]

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Rabb kita tiap malam turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, seraya berkata: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri dia, dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni dia.” *4

Allah ‘Azza wa Jalla juga telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohon kepada-Nya tambahan ilmu. Allah berfirman :

“Dan katakanlah (dalam doamu) Wahai Rabbku, tambahkan untukku ilmu.” [Thaha: 114]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alahis salam :

(Ibrahim berdoa): “Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalihin.” [Asy-Syu'ara: 83]

Hikmah di sini yang dimaksud adalah ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :

“Apabila seorang hakim (berilmu) telah berijtihad …” *5

Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mendo’kan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu agar diberi kekuatan hafalan. *6

Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mendo’akan shahabat Ibnu ‘Abbas agar diberi karunia ilmu. beliau berdo’a :

“Ya Allah, jadikan ia faqih (berilmu) tentang agama, dan ajarkanlah padanya ilmu tafsir.” *7

Allah pun mengabulkan doa beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu tidaklah beliau mendengar satu hadits/ilmu kecuali beliau menghafalnya. Dan jadilah Ibnu ‘Abbas Radhiyallah ‘anhuma sebagai hibrul ummah dan turjumanul qur`an (gelar bagi shahabat Ibnu ‘Abbas karena keilmuannya yang sangat luas dan pemahamannya yang sangat mendalam terhadap tafsir Al-Qur’an).

Para ‘ulama pun senantiasa berjalan di atas prinsip ini. Inilah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau menuju ke masjid, kemudian sujud kepada Allah dan meminta kepada-Nya dengan mengatakan: “Wahai Dzat yang telah mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku. Wahai Dzat yang telah memberikan pemahaman kepada Nabi Sulaiman, pahamkanlah aku.”

Maka Allah pun mengabulkan doa beliau. Sampai-sampai Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan: “Sungguh Allah telah mengumpulkan ilmu untuknya, sampai seakan-akan ilmu tersebut berada di antara kedua matanya, yang bisa beliau ambil sekehendak beliau.”

 

Keempat: Kebaikan Hati

Hati merupakan wadah bagi ilmu. apabila wadah tersebut bagus, maka bisa melindung dan menjaga sesuatu yang ada di dalamnya. Namun apabila wadahnya rusak, maka sesuatu yang ada di dalamnya bisa hilang.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan hati sebagai dasar bagi segala sesuatu. Beliau bersabda :

“Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh jasad. Namun jika jelek, maka jasad seluruhnya pun jelek. Ketahulah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati.” *8

Kebaikan hati akan terwujud dengan ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta merenungkan makhluk-makhluk dan ayat-ayat-Nya.

Kebaikan hati juga akan terwujud dengan merenungkan Al-Qur`anul ‘Azhim. Demikian juga kebiakan hati akan terwujud dengan banyak sujud dan shalat malam.

Hendaknya seseorang menjauh/menghindarkan dari perusak-perusak dan penyakit-penyakit hati. Perusak dan penyakit tersebut apabila ada dalam hati, maka hati tersebut tidak akan mampu membawa ilmu, kalau pun bisa membawanya namun ia tidak akan memahaminya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik yang sakit hatinya,

“Mereka punya hati namun mereka tidak bisa memahaminya”. [Al-A'raf: 179]

Penyakit-penyakit hati, terbagi dua: syahwat dan syubhat.

Syahwat, seperti cinta dunia dan berbagai kelezatannya, serta menyibukkan diri dengannya, senang kepada gambar-gambar yang haram, suka mendengarkan sesuatu yang diharamkan berupa suara musik atau lagu, dan juga melihat sesuatu yang haram.

Syubhat, seperti keyakinan-keyakinan yang rusak, amal-amal yang bid’ah, menisbahkan diri pada berbagai paham pemikiran bid’ah yang menyimpang dan menyelisihi manhaj salaf.

Termasuk penyakit hati yang bisa menghalangi dari ilmu adalah, hasad, khianat, dan sombong.

Termasuk perusak hati juga adalah kebanyakan tidur, banyak bicara, dan banyak makan.

Maka hendaknya dihindarkan penyakit-penyakit dan perusak-perusak kebaikan hati di atas.

 

Kelima: Kecerdasan

Kecerdasan itu ada yang alami, ada pula yang muktasab (bisa diupayakan). Apabila seseorang memang cerdas, maka dia harus semakin menguatkannya. Kalau tidak, maka dia harus menempa diri agar bisa meraih kecerdasan tersebut.

Kecerdasan merupakan di antara sebab kuat yang menunjang dalam pengumpulan ilmu, memahami, dan menghafalnya, serta membedakan antara berbagai masalah, memadukan dalil-dalil, dan sebagainya.

 

Keenam: Antusias Mengumpulkan Ilmu merupakan sebab untuk bisa memperolehnya dan mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala terhadapnya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” [An-Nahl: 128]

Seseorang apabila dia tahu tentang nilai penting sesuatu, maka ia akan antusias untuk meraihnya. Sedangkan ilmu merupakan suatu terbesar yang semestinya diraih oleh seseorang.

Maka wajib atas penuntut ilmu: Antusias yang kuat untuk menghafal dan memahami ilmu, duduk bersama para ‘ulama dan talaqqi ilmu langsung dari mereka, semangat untuk banyak membaca, menyibukkan umur dan waktunya (untuk ilmu), dan sangat perhitungan terhadap waktunya.

 

Ketujuh: Keseriusan, Kesungguhan, dan Kontiunitas dalam Meraih Ilmu

Menjauh dari kemalasan dan kelemahan. Mujahadatun Nafs (memerangi diri sendiri) dan memerangi syaithan. Jiwa dan Syaithan merupakan dua penghalang amalan menuntut ilmu.

Di antara sebab yang membantu membangkitkan kesungguhan dalam menuntut ilmu adalah: Membaca biografi-biografi para ‘ulama, tentang kesabaran, kekokohan menanggung beban/resiko, dan perjalanan mereka dalam meraih ilmu dan hadits.

 

Kedelapan: Konsentrasi

Yaitu seorang penuntut ilmu mencurahkan segala kesungguhannya hingga ia berhasil sampai kepada tujuannya dalam ilmu dan kekokohan padanya, baik kekuatan hafalan, pemahaman, dan pondasi yang kokoh.

 

Kesembilan: Terus Berada di Sisi Guru dan Pengajar

Ilmu itu diambil dari mulut para ‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama, talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya. Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil faidah dari ‘ulama: adab, akhlaq, dan sifat wara’. Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit benarnya.

Demikianlah, inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.

 

Kesepuluh: Menempuh Waktu yang Lama

Janganlah seorang penuntut ilmu mengira bahwa menuntut ilmu akan selesai sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Bahkan menuntut ilmu itu butuh kesabaran bertahun-tahun.

Al-Qadhi ‘Iyadh ditanya,

“Sampai kapan seseorang itu menuntut ilmu?”

Beliau menjawab,

“Sampai mati, sehingga tintanya menemaninya sampai ke kuburnya.”

Al-Imam Ahmad berkata:

“Aku duduk mempelajari Kitabul Haidh selama sembilan tahun hingga aku memahaminya.”

Demikianlah, para penuntut ilmu yang cerdas senantiasa duduk bermulazamah kepada ‘ulama selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun. Bahkan sebagian mereka terus bermulazamah hingga Allah mewafatkannya.

Inilah beberapa prinsip yang perlu untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu guna meraih ilmu.

Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq terhadap kita dan antum kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.

 

10 Prinsip Meraih Ilmu, Oleh: Asy Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri

 Catatan Kaki :

* 1: HR. Ahmad (I/30), At-Tirmidzi (2344), Ibnu Majah (4164), dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 310.

* 2: HR. Abu Dawud (5095). At-Tirmidzi (3426), dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalimuth Thayyib no. 59.

* 3: Yaitu hadits dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menceritakan tentang tiga orang yang pertama kali diadili para hari Kiamat nanti, salah satu di antara mereka adalah orang yang diberi karunia ilmu :

“… dan seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta rajin membaca Al-Qur’an. Maka ia pun didatangkan, kemudian diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, maka ia pun mengakuinya. Allah berkata: ‘Apa yang kamu amalkan dengan nikmat-nikmat tersebut?’ Dia menjawab: ‘Saya mempelajari ilmu dan mempelajarinya, serta aku rajin membaca Al-Qur’an karena Engkau.’ Allah menjawab: ‘kamu telah berdusta!! Engkau mempelajari ilmu karena ingin dikatakan sebagai seorang yang ‘alim (berilmu), dan engkau rajin membaca Al-Qur’an supaya dikatakan dia adalah qari’, dan kamu telah dikatakan demikian.’ Maka dia diperintahkan diseret di atas wajah, kemudian dicampakkan ke dalam Neraka. …” [HR. Muslim 1905]

* 4: HR. Al-Bukhari 1145, Muslim 758, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu

* 5: HR. Al-Bukhari 7352, Muslim 1716 dari shahabat ‘Amr bin Al-’Ash dan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhuma.

* 6: Lihat HR. Al-Bukhari 119

* 7: Penggal pertama do’a ini: (اللهم فقهه في الدين ) diriwayatkan oleh Al-Bukhari 143. Adapun penggal kedua diriwayatkan oleh Ath-Thabarani. Lihat Ash-Shahihah no. 2589.

* 8: HR. Al-Bukhari no. 52, Muslim 1599, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir Radhiyallah ‘anhu.

Sumber: www.dammajhabibah.wordpress.com/ http://ulamasunnah.wordpress.com/2011/01/27/10-prinsip-meraih-ilmu/

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Dalil Tentang Terpeliharanya Keaslian Qur’an dan Hadits, Sejak Zaman Nabi Hingga Akhir Zaman

Asas agama kita yang hanif (lurus/benar) adalah Al-Qur’anul Karim dan sunnah /hadits Nabi Al-Amin (Shalallahu alahi wassalam). Al-Qur’an adalah kitab yang terpelihara dari sisi Allah Subhanahu wata’ala yang Mahatinggi dan Agung. Al-Qur’an dihafal dalam dada dan tertulis dalam tulisan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Adapun sunnah (hadits Rasulullah Shalallahu alahi wassalam), keberadaannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baihaqi, berkedudukan sebagai penjelas yang berasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Oleh karena itu, sunnah secara keseluruhan terpelihara dengan pemeliharaan-Nya, karena ia termasuk peringatan (zikir) dari peringatan (Al-Qur’an). (Tahqiq Al-Ba’its al-Hatsits, 1/7)

 

Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya

 

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan  (Asy-Syinqithi t, 2/225)

Allah Subhanahu wata’ala memelihara Al-Qur’an dari upaya setan yang ingin menambahkan kebatilan ke dalamnya dan mengurangi kebenarannya, sehingga Al-Qur’an tetap terpelihara (Al-Qurthubi t (10/5) berdasarkan ucapan Qatadah dan Tsabit al-Bunani)

Al-Qur’an terpelihara saat diturunkan maupun setelahnya. Saat diturunkan, Allah Subhanahu wata’ala memeliharanya dari upaya setan yang ingin mencuri-curi beritanya. Adapun setelah diturunkan, Allah Subhanahu wata’ala menyimpannya di hati Rasulullah Shalallahu alahi wassalam, kemudian di hati umatnya. Allah Subhanahu wata’ala menjaga lafadz-lafadznya dari perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Allah Subhanahu wata’ala juga menjaga makna-maknanya dari perubahan dan penggantian. Tidak seorang pun yang berusaha memalingkan salah satu makna pada Al-Qur’an, melainkan Allah Subhanahu wata’ala pasti mendatangkan orang yang akan menjelaskan kebenaran yang nyata. Ini merupakan salah satu tanda keagungan ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala dan kenikmatan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin. Di antara bentuk pemeliharaan Allah Subhanahu wata’ala terhadap Al-Qur’an juga adalah Dia (Subhanahu wata’ala) memelihara ahlul Qur’an dari musuh-musuh mereka. Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkan mereka dari gangguan musuh. (asy-Syaikh as-Sa’di t, )

Ayat lain yang semakna di antaranya firman Allah Subhanahu wata’ala: “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan1, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (Fushshilat: 42)

Juga firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka itulah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Al-Qiyamah: 16—19)

Al-Imam Al-Baidhawi t (3/362) mengatakan, “Pada ayat ini terdapat bantahan terhadap sikap orang-orang kafir yang senantiasa mengingkari dan memperolok-olok Al-Qur’an. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wata’ala menguatkannya (Al-Qur’an) dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”

Maksudnya, memeliharanya dari penyimpangan, baik huruf maupun makna, dan penambahan maupun pengurangan. Allah Subhanahu wata’ala menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu keajaiban (mukjizat), guna membedakan apa yang tertera padanya dengan ucapan manusia.”

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”   

Ath-Thabari t (14/8) berkata, “Allah Subhanahu wata’ala memelihara Al-Qur’an dari penambahan kebatilan yang bukan bagian darinya, atau pengurangan hukum, batasan, dan kewajiban yang seharusnya ada padanya.”

 

Hadits Nabi Juga Terpelihara Sebagaimana Terpeliharanya Al-Qur’an

“Sunnah (hadits) Rasulullah Shalallahu alahi wassalam dan Al-Qur’anul Karim berasal dari sumber yang sama. Hilang (tersia-siakan)nya sebagian hadits—yang merupakan penjelas bagi Al-Qur’an—adalah pendapat yang bertentangan dengan janji Allah Subhanahu wata’ala untuk memeliharanya.”  (Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah)

Dengan demikian, sunnah Rasulullah Shalallahu alahi wassalam yang suci termasuk bagian dalam janji Allah Subhanahu wata’ala yang benar, yaitu benar-benar terpelihara dan terjamin. (Lihat An-Nukat ‘ala Kitab Ibni Shalah 1/9)

Asas agama kita yang hanif adalah Al-Qur’anul Karim dan sunnah (hadits) Nabi Al-Amin. Al-Qur’an adalah kitab yang terpelihara dari sisi Allah Subhanahu wata’ala yang Mahatinggi dan Agung. Al-Qur’an dihafal dalam dada dan tertulis dalam tulisan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)

Adapun sunnah (hadits Rasulullah Shalallahu alahi wassalam), keberadaannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Baihaqi, berkedudukan sebagai penjelas yang berasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Oleh karena itu, sunnah secara keseluruhan terpelihara dengan pemeliharaan-Nya, karena ia termasuk peringatan (zikir) dari peringatan (Al-Qur’an). (Tahqiq Al-Ba’its al-Hatsits, 1/7)

 

Upaya dan Cara Umat Memelihara Al-Qur’an dan Hadits

Kaum muslimin sejak generasi pertama sangat memerhatikan pemeliharaan sanad-sanad syariat mereka dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak dilakukan oleh umat sebelum munculnya Nabi Muhammad Shalallahu alahi wassalam.

Umat Rasulullah Shalallahu alahi wassalam menghafal dan meriwayatkan Al-Qur’an dari Rasulullah Shalallahu alahi wassalam secara mutawatir. Ayat demi ayat, kalimat demi kalimat, huruf demi huruf, terpelihara dalam dada dan dikukuhkan dengan tulisan pada mushaf (Al-Qur’an). Sampai-sampai mereka meriwayatkan berbagai sisi pengucapannya berdasarkan dialek qabilah. Mereka juga meriwayatkan jalan penulisan (bentuk huruf) dalam mushaf. Mereka menulis kitab yang panjang lagi sempurna dalam hal ini. (Asy-Syaikh Ahmad Syakir t)

Mereka juga menghafal dari Nabi mereka, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, semua ucapan, perbuatan, dan keadaan beliau. Beliau Shalallahu alahi wassalam adalah penyampai (syariat) dari Rabbnya, penjelas syariat-Nya. Beliau Shalallahu alahi wassalam diperintahkan untuk melaksanakan agama-Nya. Setiap ucapan dan keadaan beliau adalah penjelas bagi Al-Qur’an. Beliau adalah seorang rasul yang ma’shum dan menjadi suri teladan yang baik bagi umatnya. Allah Subhanahu wata’ala menerangkan sifat Beliau Shalallahu alahi wassalam:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3—4).

Juga firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)

Juga firman Allah Subhanahu wata’ala:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash c menulis segala sesuatu yang dia dengarkan dari Rasulullah Shalallahu alahi wassalam. Orang-orang Quraisy pun melarangnya. Akhirnya, Abdullah bin Amr c mengadukan hal itu kepada Rasulullah Shalallahu alahi wassalam. Beliau Shalallahu alahi wassalam pun bersabda, “Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah terucap dariku kecuali semata-mata kebenaran.”2

Pada haji wada’, Rasulullah Shalallahu alahi wassalam memerintahkan kaum muslimin secara umum untuk menyampaikan dari Beliau Shalallahu alahi wassalam, sebagaimana sabda beliau:

“Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena orang yang hadir bisa jadi dia menyampaikan kepada orang lain, namun orang lain tersebut lebih memahami hadits itu daripada dirinya.”3

Demikian pula sabda Beliau Shalallahu alahi wassalam:

“Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena bisa jadi orang yang disampaikan (hadits kepadanya) lebih memahami daripada orang yang mendengar (hadits itu secara langsung).”4

Dari penjelasan ini, kaum muslimin memahami bahwa mereka wajib memelihara segala sesuatu yang datang dari Rasul mereka Shalallahu alahi wassalam. Mereka pun melakukannya serta menunaikan amanah sesuai yang diminta. Mereka meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shalallahu alahi wassalam, baik secara mutawatir dari sisi lafadz dan makna, atau dari sisi makna saja, atau secara masyhur dengan sanad-sanad yang sahih (yang kukuh), yang diistilahkan oleh ulama ahli hadits dengan hadits sahih atau hasan….” (Lihat Al-Ba’its Al-Hatsits, 1/70—71)

 

Sanad, Kekhususan Umat Ini

Sanad merupakan kekhususan yang mulia yang dimiliki umat ini. Kekhususan ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Sanad termasuk bagian agama yang agung kedudukannya.  (catatan redaksi : Sanad adalah silsilah (rentetan) para perawi yang menyambungkan kepada Matan. Dan Matan adalah perkataan yang terdapat di akhir Sanad itu. Dengan bahasa lugasnya, Sanad adalah jalur transmisi periwayatan hadits, sedangkan Matan adalah teks atau nash yang terdapat di ujung Sanad itu. Wallahu a’lam.)

Dalam kitab Tarikh Baghdad, al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya, pada biografi Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Amin al-Bukhari, sampai kepada Abdan, salah seorang murid Abdullah bin al-Mubarak. Beliau t berkata, “Aku mendengar Abdullah bin al-Mubarak berkata:

“Sanad itu menurutku termasuk bagian agama. Kalau bukan karena sanad, semua orang bisa berkata apa pun yang dia kehendaki’.”

Ucapan Al-Imam Ibnul Mubarak ini termasuk kalimat yang terbaik dan terbagus untuk menunjukkan kedudukan sanad dalam agama.

Al-Hakim Abu Abdillah an-Naisaburi t mengatakan dalam kitabnya, Ma’rifat Ulumul Hadits, setelah menyebutkan ucapan Abdullah bin al-Mubarak di atas, “Kalau bukan karena sanad, upaya para ulama hadits mencarinya, dan ketekunan mereka menghafalnya, akan hilanglah panji-panji Islam. Para pelaku kesyirikan dan kebid’ahan akan semakin kokoh memalsukan hadits-hadits dan memutarbalikkan sanad, karena apabila hadits-hadits Rasulullah Shalallahu alahi wassalam kosong dari sanad, jadilah ia sebagai hadits yang terputus.”

Ketika menafsirkan ayat:

“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar dan bagi kaummu.” (Az-Zukhruf: 44)

Al-Imam Malik t berkata, “Maknanya adalah ucapan seorang rawi, ‘Ayahku telah menyampaikan kepadaku dari kakekku’.”

Abdullah bin Mubarak juga berkata, “Permisalan seseorang yang mencari urusan agamanya tanpa sanad seperti orang yang memanjat atap tanpa tangga.”

Beliau t berkata juga, “Pembeda antara kita dengan kaum itu adalah qawain.”

‘Qawain’ adalah sanad sedangkan ‘kaum itu’ ialah ahlul bid’ah dan yang menyerupai mereka.

Sufyan ats-Tsauri t mengatakan, “Sanad itu senjata orang mukmin. Apabila seorang mukmin tidak memiliki senjata, dengan apa dia melawan musuh?”

Beliau t juga berkata, “Sanad itu perhiasan bagi hadits. Barang siapa yang memerhatikannya, ia telah beruntung. (lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, tahqiq Khalil Makmun Syiha 1/28—30)

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Qatadah berkata, “Kebatilan di sini adalah Iblis. Allah Subhanahu wata’ala yang menurunkan Al-Qur’an dan kemudian memeliharanya, sehingga Iblis tidak mampu menambahkan kebatilan dan mengurangi kebenaran darinya. (Lihat Tafsir Ad-Durrul Mantsur 5/66)

2 HR. Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (2/162) dengan sanad yang sahih. Abu Dawud, Al-Hakim, dan yang lainnya juga meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini.

3 HR. Al-Imam Al-Bukhari dan lainnya.

4 HR. Al-Imam Al-Bukhari dan lainnya.

Sumber :

Ditulis berdasarkan rujukan / kutipan dari tulisan yang berjudul “Terpeliharannya Hadits Sebagaimana Al Qur’an” yang ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin., Majalah AsySyariah Edisi 061

Untuk membaca selengkapnya dari sumber rujukan dari artikel ini silahkan klik  http://asysyariah.com/hadits-terpelihara-sebagaimana-al-quran.html

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Amalan yang Dapat Menyelamatkan Manusia dari Azab Kubur

 

Setelah memberitahukan dahsyatnya azab kubur dan sebab-sebab yang akan menyeret ke dalamnya, baik melalui firman-Nya ataupun melalui lisan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam yang mulia, dengan rahmat dan keutamaan-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memberitahukan amalan-amalan yang akan menyelamatkan dari azab kubur tersebut.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Sebab-sebab yang akan menyelamatkan seseorang dari azab kubur terbagi menjadi dua:

1. Sebab-sebab Umum

Yaitu dengan menjauhi seluruh sebab yang akan menjerumuskan ke dalam azab kubur sebagaimana yang telah disebutkan.

Sebab yang paling bermanfaat adalah seorang hamba duduk beberapa saat sebelum tidur untuk mengevaluasi dirinya: apa yang telah dia lakukan, baik perkara yang merugikan maupun yang menguntungkan pada hari itu. Lalu dia senantiasa memperbarui taubatnya yang nasuha antara dirinya dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga dia tidur dalam keadaan bertaubat dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya bila nanti bangun dari tidurnya. Dia lakukan itu setiap malam. Maka, apabila dia mati (ketika tidurnya itu), dia mati di atas taubat. Apabila dia bangun, dia bangun tidur dalam keadaan siap untuk beramal dengan senang hati, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunda ajalnya hingga dia menghadap Rabbnya dan berhasil mendapatkan segala sesuatu yang terluput. Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba daripada taubat ini. Terlebih lagi bila dia berzikir setelah itu dan melakukan sunnah-sunnah yang datang dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam ketika dia hendak tidur sampai benar-benar tertidur. Maka, barangsiapa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan berikan hidayah taufik untuk melakukan hal itu. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

 

2. Sebab-sebab Khusus

Di antaranya:

- Ribath (berjaga di pos perbatasan wilayah kaum muslimin) siang dan malam.

Dari Fadhalah bin Ubaid radiyallahu anhu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:

“Setiap orang yang mati akan diakhiri/diputus amalannya, kecuali orang yang mati dalam keadaan ribath di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Amalannya akan dikembangkan sampai datang hari kiamat dan akan diselamatkan dari fitnah kubur.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

- Mati syahid

Dari Ubadah bin Ash-Shamit radiyallahu anhu, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam:

“Orang yang mati syahid akan mendapatkan enam keutamaan di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala: diampuni dosa-dosanya dari awal tertumpahkan darahnya, akan melihat calon tempat tinggalnya di surga, akan diselamatkan dari azab kubur, diberi keamanan dari ketakutan yang sangat besar, diberi hiasan dengan hiasan iman, dinikahkan dengan bidadari, dan akan diberi kemampuan untuk memberi syafaat kepada 70 orang kerabatnya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah. Al-Albani berkata dalam Ahkamul Jana’iz bahwa sanadnya hasan)

- Mati pada malam Jumat atau siang harinya.

 

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam, beliau bersabda:

“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malamnya, kecuali Allah akan melindunginya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad dan Al-Fasawi. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan dalam Ahkamul Jana’iz bahwa hadits ini dengan seluruh jalur-jalurnya hasan atau shahih)

- Membaca surat Al-Mulk

Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu, Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam bersabda:

“Dia (surat Al-Mulk) adalah penghalang, dia adalah penyelamat yang akan menyelamatkan pembacanya dari azab kubur.” (HR. At-Tirmidzi, lihat Ash-Shahihah no. 1140) [dinukil dari Ar-Ruh dengan sedikit perubahan]

- Doa , yaitu sebagaimana yang telah lalu, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam berdoa untuk berlindung dari azab kubur dan memerintahkan umatnya untuk berlindung darinya.

 

Nikmat Kubur

Setelah mengetahui dan meyakini adanya azab kubur yang demikian mengerikan dan menakutkan, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih, juga mengetahui macam-macamnya, penyebabnya, dan hal-hal yang akan menyelamatkan darinya, maka termasuk kesuksesan yang agung adalah selamat dari berbagai azab tersebut dan mendapatkan nikmat di dalamnya dengan rahmat-Nya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih maka Rabb mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah keberuntungan yang nyata.” (Al-Jatsiyah: 30)

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku.’ Barangsiapa yang dijauhkan azab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata.” (Al-An’am: 15-16)

Adapun nikmat kubur, di antaranya apa yang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam beritakan dalam hadits Al-Bara’ rahimahullah yang panjang:

- mendapatkan ampunan dan keridhaan-Nya. Sebagaimana perkataan malakul maut kepada orang yang sedang menghadapi sakaratul maut:

“Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya.”

- dikokohkan hatinya untuk menghadapi dan menjawab fitnah kubur.

 

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)

- Digelarkan permadani, didandani dengan pakaian dari surga, dibukakan baginya pintu menuju surga, dilapangkan kuburnya, dan di dalamnya ditemani orang yang tampan wajahnya, bagus penampilannya, sebagaimana yang Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam kabarkan dalam hadits Al-Bara’ yang panjang:

“Maka gelarkanlah permadani dari surga, dandanilah ia dengan pakaian dari surga. Bukakanlah baginya sebuah pintu ke surga, maka sampailah kepadanya bau wangi dan keindahannya. Dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang, kemudian datang kepadanya seorang yang tampan wajahnya, bagus pakaiannya, wangi baunya. Lalu dia berkata: ‘Berbahagialah dengan perkara yang menyenangkanmu. Ini adalah hari yang dahulu kamu dijanjikan.’ Dia pun bertanya: ‘Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah orang yang datang membawa kebaikan.’ Dia menjawab: ‘Aku adalah amalanmu yang shalih…” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala meneguhkan hati kita di atas kalimat tauhid hingga akhir hayat kita dan menyelamatkan kita dari berbagai fitnah (ujian) dunia dan fitnah kubur, serta memasukkan kita ke dalam jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘alamin

 

Sumber :

Amalan yang Menyelamatkan dari Azab Kubur  (ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan),  dalam Majalah Asy-Syariah,  (Kajian Utama edisi 51)

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Godaan Setan Saat Manusia Menghadapi Sakaratul Maut

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah dan keadilan-Nya menjadikan setan dari golongan jin dan manusia sebagai musuh bagi hamba-Nya. Permusuhan itu tidak berhenti sampai ajal datang kepada hamba tersebut. Setan pun terus berusaha menyesatkan sehingga seorang hamba akan mati dalam keadaan kafir.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Iblis menjawab: Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)’.” (Al-A’raf: 16-17)

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)

Hal inilah yang menjadikan kita sadar dan hati-hati dalam mencari lingkungan serta teman bagi kita dan keluarga kita. Lebih-lebih tatkala dalam keadaan sakit atau menghadapi kematian. Karena setan dari golongan jin dan manusia terus bekerja sama dan saling membantu untuk menyesatkan hamba sehingga dia menjadi penghuni neraka jahannam.

Namun sebaliknya, teman dan lingkungan yang baik akan mengajak serta mendorongnya untuk berbuat kebaikan dan istiqamah di atasnya. Oleh karena itu, perhatikanlah kisah berikut.

Dari Ibnul Musayyab rahimahullahu, dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika Abu Thalib menghadapi kematian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuinya. Ketika itu Abu Jahal ada di sampingnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai paman, ucapkan Laa ilaha illallah, sebuah kalimat yang aku akan jadikan sebagai hujjah untuk membelamu di hadapan Allah.” Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?” Terus-menerus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membujuknya untuk mengucapkannya. Namun mereka berdua (Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah) juga mengulang-ulang ucapan mereka. Hingga Musayyab berkata: “Abu Thalib mati di atas agama Abdul Muththalib.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya. Beliau duduk di samping kepalanya. Beliau menawarkan kepadanya untuk masuk Islam. Beliau berkata: “Masuk Islamlah.” Anak itu lalu memandang kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya lalu berkata: “Taatilah Abul Qasim (Rasulullah).” Maka dia pun masuk Islam lalu meninggal dunia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu keluar sambil berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka dengan perantaraanku.” (Muttafaqun ‘alaih)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan akhirnya.” (HR. Al-Bukhari dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu)

 

Tidak Ada yang Selamat Kecuali Orang yang Diselamatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Karena dahsyatnya berbagai ujian dan cobaan yang dihadapi masing-masing hamba, maka tidak mungkin bisa selamat dan berhasil melaluinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat dan keutamaan dari-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Bersabarlah (wahai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (An-Nahl: 127)

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amalan seseorang tidak akan memasukkan dirinya ke dalam jannah.” Mereka bertanya: “Tidak pula engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak pula aku. Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meliputiku dengan rahmat dan keutamaan dari-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sebagai penutup, kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali ‘Imran: 8)

“Wahai Dzat Yang membolak-balikkan qalbu, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi, lihat Shahih Al-Jami’, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Shahih”)

 

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin

 

Sumber : Proses Keluarnya Jasad dari Ruh,  (ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan),   Majalah Asy-Syariah,  (Kajian Utama edisi 51)

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Proses Penciptaan Manusia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At Tin : 5)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita! Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya!

Lalu pernahkah kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?

Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam :

“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” (Shad : 71)

Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (Ash Shaffat : 11)

Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri.

Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan itu dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al Mukminun : 12-14)

“Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … .” (Al Hajj : 5)

Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.

Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (Al Hijr : 26)

Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin).” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … .” (Az Zumar : 6)

Dalam ayat lain :

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … .” (Al A’raf : 189)

Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani).” (As Sajdah : 7-8)

Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu. Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :

“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan.” (Al Mursalat : 20-22)

Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)

Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :

“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin”

Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik

Lalu Allah turunkan firman-Nya :

“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)

Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :

” … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … .” (Az Zumar : 6)

Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)

Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :

Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya.” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)

Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.

Dalam riwayat lain :

Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu ‘anhu, shahih)

Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging.” Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.

Perubahan janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari)

Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan Ishaq.

Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50.000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :

“Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653, shahih)

Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam)

Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu. Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia.” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya. Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara.” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647]

Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas. Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya).” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)

Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!

Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua.


sumber :http://kebunhidayah.wordpress.com/
Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Mengapa Wanita Wajib Memakai Hijab (Jilbab) ?

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Hijab Itu Adalah Ketaatan Kepada Allah Dan Rasul

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)

Termasuk dalam pengertian taat dalam ayat Qur’an diatas adalah taatnya seorang wanita dalam menutup aurat dan cara berpakaian mereka.  Ayat tersebut menjelaskan bagi yang tidak taat mereka adalah sesat dengan kesesatan yang nyata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yanga artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya.

Hijab Itu ‘Iffah (Kemuliaan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.

Hijab Itu Kesucian

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32)

Hijab Itu Pelindung

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan”

Sabda beliau yang lain (yang artinya): “Siapa saja di antara wanita yang melepaskan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla telah mengoyak perlindungan rumah itu dari padanya.”

Jadi balasannya setimpal dengan perbuatannya.

Hijab Itu Taqwa

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman(yang artinya): “Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26)

Hijab Itu Iman

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman (yang artinya):“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu anha dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”

Hijab Itu Haya’ (Rasa Malu)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.”

Sabda beliau yang lain (yang artinya):“Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.”

Sabda Rasul yang lain (yang artinya): “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”

 

Hijab Itu Perasaan Cemburu

Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan terjadi pada masa Jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang ‘ajam (non Arab) di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.”

Beberapa Syarat Hijab Yang Harus Terpenuhi:

1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling kuat.

2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan.

3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan.

4. Longgar dan tidak sempit atau ketat.

5. Tidak memakai wangi-wangian.

6. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.

7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.

8. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang.

Jangan Berhias Terlalu Berlebihan(Tabarruj)

Bila anda memperhatikan syarat-syarat tersebut di atas akan nampak bagi anda bahwa banyak di antara wanita-wanita sekarang ini yang menamakan diri sebagai wanita berjilbab, padahal pada hakekatnya mereka belum berjilbab. Mereka tidak menamakan jilbab dengan nama yang sebenarnya. Mereka menamakan Tabarruj sebagai hijab dan menamakan maksiat sebagai ketaatan.

Musuh-musuh kebangkitan Islam berusaha dengan sekuat tenaga menggelincirkan wanita itu, lalu Allah menggagalkan tipu daya mereka dan meneguhkan orang-orang Mu’min di atas ketaatan kepada Tuhannya. Mereka memanfaatkan wanita itu dengan cara-cara kotor untuk memalingkannya dari jalan Tuhan dengan memproduksi jilbab dalam berbagai bentuk dan menamakannya sebagai “jalan tengah” yang dengan itu ia akan mendapatkan ridha Tuhannya -sebagaimana pengakuan mereka- dan pada saat yang sama ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap menjaga kecantikannya.

Kami Dengar Dan Kami Taat

Seorang muslim yang jujur akan menerima perintah Tuhannya dan segera menerjemahkannya dalam amal nyata, karena cinta dan perhomatannya terhadap Islam, bangga dengan syariat-Nya, mendengar dan taat kepada sunnah nabi-Nya dan tidak peduli dengan keadaan orang-orang sesat yang berpaling dari kenyataan yang sebenarnya, serta lalai akan tempat kembali yang ia nantikan. Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya:“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48)

Firman Allah yang lain (yang artinya): “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. An-Nur: 51-52)

Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31) Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.”

Sumber :

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=856

Baca Lanjutanya Disini Gan »»  

Bahaya Durhaka Pada Suami

Tujuan suatu pernikahan adalah untuk menciptakan kecenderungan (ketenangan), kasih sayang, dan cinta. Sebab seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan penenang di kala timbul problema. Namun, jika istri itu durhaka lagi membangkang kepada suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan mata. Dia tidak lagi menjadi penyejuk hati, tapi menjadi musibah dan neraka bagi suaminya. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :  “Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum :21)

Kedurhakaan seorang istri kepada suaminya amat banyak ragam dan bentuknya, seperti mencaci-maki suami, mengangkat suara depan suami, membuat suami jengkel, berwajah cemberut depan suami, menolak ajakan suami untuk jimak, membenci keluarga suami, tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan pemberian suami, tidak mau mengurusi rumah tangga suami, selingkuh, berpacaran di belakang suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya” .
[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (9135 & 9136), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2349), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2771), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (289)]

Tipe wanita seperti ini banyak disekitar kita. Suami yang capek banting tulang setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhannya, namun masih saja tetap berkeluh kesah dan tidak puas dengan penghasilan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga hal itu menjadi beban yang berat bagi suaminya. Maka tidak heran jika neraka dipenuhi dengan wanita-wanita seperti ini, sebagaimana sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-

“Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]

Hushain bin Mihshon telah berkata, “Bibiku telah menceritakan kepadaku seraya berkata,
“Saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk suatu keperluan. Beliau bertanya:”siapakah ini? Apakah sudah bersuami?. “sudah!”, jawabku. “Bagaimana hubungan engkau dengannya?”, tanya Rasulullah. “Saya selalu mentaatinya sebatas kemampuanku”. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Perhatikanlah selalu bagaimana hubunganmu dengannya, sebab suamimu adalah surgamu, dan nerakamu”. [HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8963), Ahmad dalam Al-Musnad (4/341/no. 19025), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2612), dan Adab Az-Zifaf (hal. 213)]

Dari hadits ini, kita telah mengetahui betapa besar dan agungnya hak-hak suami yang wajib dipenuhi seorang istri sampai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda,

“Sekiranya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada lainnya, niscaya akan kuperintahkan seorang istri sujud kepada suaminya” . [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (1159), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (1998)]

Jika seorang istri tidak memenuhi hak-hak tersebut atau durhaka kepada suami, maka ia mendapatkan ancaman dari Allah -Ta’ala- lewat lisan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,   “Ada dua orang yang sholatnya tidak melampaui kepalanya: budak yang lari dari majikannya sampai ia kembali, dan wanita yang durhaka kepada suaminya sampai ia mau rujuk (taubat)”.
[HR. Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (478), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (7330)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Ada tiga orang yang sholatnya tidak melampaui telinganya: Hamba yang lari sampai ia mau kembali, wanita yang bermalam (tidur, red), sedang suaminya masih marah kepadanya, dan seorang pemimpin kaum, sedang mereka benci kepadanya”.
[HR. At-Tirmidziy (360). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1122)]

Ini merupakan ancaman yang amat keras bagi para wanita durhaka, karena kedurhakaannya menjadi sebab tertolaknya amal sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar melaksanakan kewajiban di hadapan Allah. Adapun pahalanya, maka ia tak akan mendapatkannya, selain lelah dan capek saja. Wal’iyadzu billahmin dzalik.

Diantara bentuk kedurhakaan seorang istri kepada suaminya, enggannya seorang istri untuk memenuhi hajat biologis suaminya. Keengganan seorang istri dalam melayani suaminya, lalu suami murka dan jengkel merupakan sebab para malaikat melaknat istri yang durhaka seperti ini. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Jika seorang suami mengajak istrinya (berjimak) ke tempat tidur, lalu sang istri enggan, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai pagi”. [HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237), dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1436)]

Seorang suami saat ia butuh pelayanan biologis (jimak) dari istrinya, maka seorang istri tak boleh menolak hajat suaminya, bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi hajatnya, walaupun ia capek atau sibuk dengan suatu urusan. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

“Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, seorang istri tak akan memenuhi hak Robb-nya sampai ia mau memenuhi hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia berada dalam sekedup, maka ia (istri) tak boleh menghalanginya”.
[HR. Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1853). Hadits ini dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 211)]

Perhatikan hadits ini, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan bimbingan kepada para wanita yang bersuami agar memperhatikan suaminya saat-saat ia dibutuhkan oleh suaminya. Sebab kebanyakan problema rumah tangga timbul dan berawal dari masalah kurangnya perhatian istri atau suami kepada kebutuhan biologis pasangannya, sehingga “solusinya” (baca: akibatnya) munculllah kemarahan, dan ketidakharmonisan rumah tangga.

Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Adab Az-Zifaf (hal. 210), “Jika wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal pemenuhan biologis (jimak), maka tentunya lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suami dalam perkara yang lebih penting dari itu, seperti mendidik anak, memperbaiki (mengurusi) rumah tangga, dan sejenisnya diantara hak dan kewajibannya”.

Seorang wanita yang durhaka kepada suaminya, akan selalu dibenci oleh suaminya, bahkan ia akan dibenci oleh istri suaminya dari kalangan bidadari di surga. Istri bidadari ini akan marah. Saking marahnya, ia mendoakan kejelekan bagi wanita yang durhaka kepada suaminya..

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”.
[HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-Rodho' (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (2014). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 212)]

Demikianlah bahayanya seorang wanita melakukan kedurhakaan kepada suaminya, yakni tak mau taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf (boleh) menurut syari’at. Semoga wanita-wanita yang durhaka kepada suaminya mau kembali berbakti, dan bertaubat sebelum ajal menjemput. Pada hari itulah penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.
sumber :http://kebunhidayah.wordpress.com/

Baca Lanjutanya Disini Gan »»